Potret Keluarga Metropolis, Disharmoni Hubungan Orang Tua Dan Anak

0
3278
Sumber: breakingthecode.ca

CWS: Apa yang menjadi penyebab timbulnya disharmoni dalam hubungan orang tua dan anak?

SR: Banyaknya pasangan keluarga yang yang tidak memahami tujuan mendasar pembentukan keluarga. Tujuan mulia pernikahan sebagai mewujudkan mawadah warrohmah, menghindarkan dosa, dan mempererat silaturahmi tidak bisa diwujudkan.

Akhirnya banyak pernikahan yang berakhir dg perceraian.

Ketika perceraian sudah terjadi tentu yang menjadi korban adalah anak-anak. Mereka akan sulit menetukan sikap berpihak kesiapa? Yang seharusnya anak-anak ini tidak perlu memikirkan konflik orang tua, menjadi ikut terbebani persoalan itu. Akhirnya mereka tumbuh menjadi anak-anak yang bermasalah.

Inilah yang sering menjadi penyebab ketidak harmonisan hubungan orang tua dan anak.

Orang tua yang seharusnya menjadi panutan dan dihormati anak-anaknya, menjadi tidak berwibawa dan diremehkan oleh anak-anaknya. Bahkan terkadang terputus komunikasi sama sekali dengan salah satu dari orang tuanya yang berpisah.

CWS: Terkait banyaknya kasus perceraian saat ini, apakah ada faktor lain?

SR: Selain faktor tidak dipahaminya tujuan mendasar pernikahan, juga yang kedua adanya ketimpangan dalam persoalan hak dan kewajiban. Pernikahan yang saat ini hanya dipandang dari dimensi duniawi saja. Sehingga yang ada adalah masing-masing pasangan saling menuntut haknya, sementara soal kewajiban tidak ditunaikan dengan baik.

Padahal seharusnya pernikahan juga harus dipandang dari dimensi ukhrawi, dimana didalam pernikahan itu adalah ladang untuk beramal sholih sehingga bisa menciptakan pahala sebanyak banyaknya dalam kedudukan masing-masing. Tentu melalui pelaksanaan hak dan kewajiban sebaik-baiknya. Terabaikannya hak dan kewajiban, misalnya soal nafkah, pendidikan, atau perlindungan tentu akan mudah menyulut perselisihan dalam keluarga yang bisa berujung perceraian.

Faktor inilah yang nampaknya menjadi faktor paling besar terjadinya peceraian dikalangan pasangan suami istri.

Faktor ketiga, adalah terabaikannya fungsi keluarga, juga bisa menyebabkan perceraian. Fungsi-fungsi keluarga seperti fungsi keagamaan yang menjadi fungsi utama dalam keluarga. Kemudian fungsi reproduksi, fungsi edukasi, perlindungan, kasih sayang, ekonomi, sosial. Ketika fungsi-fungsi ini tidak berjalan maka bisa menjadi pemicu perceraian.

Maka masing-masing pasangan suami istri haruslah menjalankan fungsi-fungsi ini dengan sebaik-baiknya.

CWS: Ketika memang sudah terjadi perceraian, bagaimana seharusnya hubungan ayah, ibu, dan anak?

SR: Jika memang perceraian merupakan pilihan satu-satunya, maka ada beberapa hal penting yang harus dijaga. Kehormatan masing-masing tetap harus dijaga, hak-hak anak setelah orang tua berpisah juga haurs terpenuhi. Yang seringkali membawa kerusakan hubungan silaturahim anatara keluarga mantan suami, istri, anak bukanlah perceraian itu sendiri, tetapi sikap saling menyalahkan. Bahkan terkadang keluar perkataan yang merusak kehormatan mantan istri atau suami.

Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat termasuk anak-anak. Anak-anak harus disiapkan secara mental bahwa hidup mereka akan berubah, termasuk bahwa mereka tidak lagi tinggal bersama, anak-anak hanya akan tinggal dengan salah satu orang tua.

Orang tua harus tetap mengupayakan menjadi tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang. Harus dipahami oleh ayah ibu bahwa sekalipun mereka berpisah mereka akan tetap mencintai anak. Menjalin hubungan dengan anak setelah perceraian itu, karena sesungguhnya tidak ada yang namanya bekas anak atau bekas orang tua.

Hal inilah yang sering dilupakan oleh pasangan yang bercerai saat ini. Mereka saling hujat, sehingga anaknya menjadi korban. Bahkan yang lebih ekstrim, salah satu dari mereka berusaha menjauhkan anaknya dari ayah atau ibunya.

Inilah yang dapat mengganggu perkembangan mental si anak.

CWS: Sehubungan dengan kasus yang beberapa waktu marak, dimana seorang gelandangan yang kena razia ternyata ayah seorang artis tenar ibu kota yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa dan tidak berkomunikasi dengan orang tuanya, bagaimana menurut Ustadzah?

SR: Itulah yang terjadi sekarang, ketika orang tua bercerai, hubungan anak,ibu, ayah seolah-olah terputus. Atau sengaja diputuskan. Anak dijauhkan dari orang tuanya atau yang lainnya. Apa yang kita lihat dan dengar terkait kasus artis tenar ibu kota, yang sampai Bapaknya sendiri hidup menggelandang, tentu sangat miris kita melihatnya. Publik terkaget-kaget mendengar peristiwa itu.

Tetapi kita melihat pembelajaran dari itu semua. Bahwa harus dipahami oleh kita semua bahwa tidak ada bekas anak, bekas ayah, atau bekas ibu. Selamanya mereka tetap ayah dan ibu dari anak itu. Sehingga selama menjadi anak, Islam mendorong untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, termasuk dalam persoalan eknomi ketika orang tuanya miskin misalnya.

Tentu banyak faktor yang menyebabkan anak dijauhkan dari salah satu dari kedua orang tuanya ketika terjadi perceraian.

Bisa jadi karena karir sang anak didunia entertainment mulai menanjak, atau sebab-sebab yang lainnya. Dan si anak juga tidak merasa perlu mencari tahu keberadaan orang tuannya, meski mereka tinggal disatu kota misalnya. Karena memang sang anak tidak mendapatkan pendidikan terkait masalah itu…

Ini banyak terjadi, ketika perceraian terjadi maka seolah lepas tanggung jawab dari ayah atau ibunya.

Ada anak yang diasuh ayahnya karena ibunya terus pergi begitu saja. Atau kadang ditinggal pergi ayahnya dan sang anak hidup bersama ibunya.

Ini fenomena didalam kehidupan kapitalis sekarang ini.  Ditengah beban hidup yang semakin tinggi, orang kemudian memilih untuk lepas tanggung jawab tanpa berpikir bahwa nanti dia akan dimintai tanggung jawab diakherat.

Ini memnag terjadi dimasyarakat yang sakit, yang melihat pernikahan hanya dari sudut duniawi saja. Tidak melihatnya dari dimensi ukhrawi.

CWS: Ustadzh, fenomena sekarang dimana para remaja juga ingin menjadi artis dengan banyaknya ajang pencarian bakat, tanpa mereka memikirkan bekal akhiratnya, salah siapa?

SR: Ditengah kehidupan kapitalistik, persaingan materi menjadi menonjol, kehidupan individualistik dan materialistik begitu kental mewarnai masyarakat. Apapun kelebihan yang Allah berikan pada seseorang bisa menjadi sesuatu yang bernilai materi. Orang tua sangat ingin anaknya menjadi artis karena bisa mendulang pundi-pundi rupiah dalam waktu cepat. Orientasi materi menjadi sangat kental dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan keluarga. Akibatnya pendidikan agama anak-anakpun menjadi terabaikan. Anak anak pun kering dari nilai nilai agama yang sangat penting bagi bekal hidup dia didunia dan diakherat. Ketika anak memiliki akhalak yang buruk terhadap orang tuanya, maka tinggal dilihat bagaimana orang tua mendidiknya. Memang pengaruh lingkungan juga sangat menentukan, akan tetapi peran keluargalah yang betul betul dominan menentukan akan jadi bagaimana anaknya kelak.

Ketika orang tua terobsesi anaknya menjadi artis terkenal, maka mereka akan mengarahkan anaknya untuk menjadi yang diinginkan. Sibuklah anak dengan program program sanggar ini dan itu, sementara penguatan aqidah bagi sianak tidak ada. Anak pun kering dari nilai nilai moral agama yang seharusnya didapatkan sejak kecil.

Ditambah lagi kurikulum sekolah tidak membantu mereka untuk mendapatka hal itu. Kalaupun anaknya tidak didorong menjadi artis terkenal, maka sebagian orang tua sibuk bekerja sehingga melupakan pula pendidikan anak anaknya. Anak-anak sekedar  disekolahkan disekolah yang terbaik menurut mereka, tanpa ada pendampingan dari pihak orang tua.

Anak hidup bersama orang tuanya tetapi kering kasih sayang, karena orang tuanya sibuk atau bercerai yang menyebabkan mereka tinggal terpisah dari orang tuanya.

Apa yang menimpa para remaja sekarang sesungguhnya buah dari pola kehidupan yang mereka jalani saat ini. Krisis moral, tawuran, kejahatan seksual dan lain sebagainya. Meskipun memang krisis itu tidak hanya menimpa para remaja tetapi juga para orang tua.

CWS: Kembali kepersoalan pertama, bagaimana sesungguhnya Islam memandang persoalan perceraian?

SR:  Sesungguhnya pernikahan diselenggarakan dalam rangka membentuk keluarga dan sekaligus mewujudkan ketenangan didalamnya. Jika didalam kehidupan pernikahan muncul persoalan yang dapat menggangu keluarga hingga batas yang tidak memungkinkan dipertahankan keutuhannya, maka harus ada jalan keluar bagi kedua belah pihak untuk berpisah. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing pihak tidak harus memaksakan diri untuk mempertahankan ikatan pernikahan yang sudah diliputi dengan perselisihan terus-menerus atau bahkan mungkin juga kebencian. Sebagaimana Allah Swt.. telah mensyariatkan pernikahan. Dia juga telah mensyariatkan adanya perceraian (talak.)

Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik (QS al-Baqarah [2]: 229).

Di dalam as-Sunnah, ada riwayat yang bersumber dari Umar Ibn al-Khattab yang menyatakan, “Nabi saw.. sesungguhnya pernah menceraikan Hafshah, kemudian rujuk kembali dengannya.”

Sebagaimana pernikahan, perceraian adalah solusi, perceraian boleh dilakukan tetapi tentu saja dengan cara yang baik dan benar agar tidak justru menimbulkan persoalan baru..

CWS: Bagaimana seharusnya orang tua memperlakukan anak anaknya?

SR: Pola pengasuhan anak memang beragam, yang terpenting orang tua memahami pola yang tepat untuk mengasuh anak-anaknya baik yang masih anak-anak maupun yang sudah remaja.

Unsur penting dalam pengasuhan sesungguhnya menjadikan anak-anak kita sahabat.

Dalam kesehariannya anak tidak hanya membutuhkan orang tua sebagai sosok teladan, tetapi juga membutuhkan orang tua sebagai sosok sahabat yang bisa menjadi patner dalam dunianya sehingga ia merasa senang, ceria dan nyaman dengan diri dan lingkungannya. Sebagai sahabat, mestinya orang tua bisa menjadi sosok yang menyenangkan buat anak, membantu menyelesaikan masalah, mengingatkan kalau berbuat salah atau hanya sekedar menumpahkan keluh kesah, bertukar pengalaman dan sebagainya.

CWS: Poinnya tadi menjadi sahabat anak. Bagaimana kiatnya agar para orang tua bisa menjadi sahabat anaknya?

SR: Kiat menjadi sahabat anak memang beragam diantaranya:

Pertama, Menjadi pendengar yang baik dan aktif untuk anak sehingga ia merasa dihargai dan dicintai. Berikan respon positif dan logis ketika anak bercerita dan curhat, karena kitalah sahabat terbaik mereka.

Kedua, Libatkan diri kita dalam kegiatan dan dunia anak.

Ketiga, Berikan teguran secara proporsional dan rasional. Ketika anak berbuat salah berikan teguran dengan sikap yang tidak menghakimi, marah berlebihan dan yang lainnya.

Keempat, Berikanlah pujian untuk setiap keberhasilan yang dia raih, agar ia merasa dihargai dan dimotivasi.

Kelima, Berikan kepercayaan pada anak.

Keenam, Jadilah orang tua yang menyenangkan buat anak.

Ketujuh, Jangan malu mengakui kesalahan.

Kedelapan, Ungkapkan rasa kasih sayang.

Oleh: Hj. Siti Rofida SPd. [SR]

LEAVE A REPLY

five + 2 =